Rabu, 10 Mei 2017

Sengkang si manusia laut yang hidup di Torosiaje, Kampung Suku Bajo


Hidup diatas lautan pernah terlintas di pikiran saya karena ingin rasanya sesekali merasakan angin semilir di lautan yang dapat membuat saya terbuai akan sentuhan anginnya sehingga saya pun terlena di suatu tempat yang membuat saya berpikir seakan hidup itu masih penuh dengan kedamaian.

Ternyata di Provinsi Gorontalo, Kabupaten Pohuwato , Kecamatan Popayato terdapat kampung diatas lautan yang bernama Torosiaje, kampungnya suku bajo yang berada di air laut Teluk Tomini yang berjarak sekitar 600 meter dari daratan. 

Torosiaje berasal dari kata "Toro" yang artinya Tanjung, kalau cara pengucapan suku bugis sebutannya koro dan "Si Aje" yang berarti panggilan untuk Pak Haji yang bernama Patta Sompa, nama warga pertama yang mendiami kampung suku bajo.

Mengapa Torosiaje disebut sebagai Kampung Suku Bajo? karena Suku Bajo sangat dominan dari suku lainnya. Padahal di Torosiaje tidak hanya suku Bajo saja yang hidup disini melainkan ada Suku Bugis, Makasar, Minahasa, Gorontalo, Mandar, Buton, Jawa dan Madura menjadi satu wilayah. 


Walaupun berbeda suku tapi mereka hidup rukun satu sama lain. Mayoritas warga di Torosiaje adalah beragama islam. Penghuni Torosiaje sekitar 1.400 jiwa penduduk.

Perjalanan ke Torosiaje dari Bandara Djalaludin Gorontalo memakan waktu selama 7 jam, waktu yang sangat lama untuk menuju Torosiaje namun kalian tidak akan menyesal bila sudah sampai di Torosiaje karena keunikan, budaya dan juga cara hidup mereka selama di lautan akan membuat kalian merasa puas dengan segala perbedaannya dari yang hidup di daratan.


Kamis, 4 May 2017 tepat pukul 15.05 WITA saya sudah sampai tepat di depan gapura desa torosiaje. Kami masih harus menyebrangi hutan mangrove yang berdampingan dengan lautan yang memakan waktu selama 15 menit saja. Jarak yang tak terlalu jauh dengan biaya kapal Rp. 5.000 pulang pergi (Harga bisa berubah sewaktu-waktu).
Gapura menuju Torosiaje
 Hutan Mangrove Torosiaje Jaya

Melintasi perkampungan dengan kapal disertai aroma laut yang begitu khas dengan kesibukan penduduk yang hidup di kampung suku bajo terlihat normal seperti kami yang hidup di daratan. 

Disana juga terdapat taman kanak-kanak, sekolah menengah dasar hingga sekolah menengah pertama bahkan ada juga lapangan untuk bermain bulu tangkis loh. 

Sungguh luar biasa kehidupan di lautan yang terlihat sama saja seperti kita di daratan. Sempat terpikir kalau mereka yang hidup di atas laut tidak akan pernah merasakan bangku sekolah atau mungkin bisa bermain selayaknya kami yang ada didaratan. 

Ternyata saya salah, kehidupan disini sama saja dan tidak ada perbedaan, Hanya tempat tinggalnya saja yang berbeda.
Tiang sebagai pondasi bangunan agar tetap kokoh
Menyusuri kampung suku bajo



Penduduk Torosiaje sangatlah ramah dengan segala keaneka ragman budaya. Mereka bisa berbaur satu sama lain.

Pekerjaan penduduk Torosiaje mayoritas adalah nelayan. Kalaupun ada yang petani itu hanya sekedar sampingan saja. Karena menurut mereka menjadi nelayan adalah pekerjaan utama yang sealu mendapatkan ikan setiap saat.

Bahkan ditiap pekarangan rumah, selalu ada keramba ikan. mereka memelihara berbagai jenis ikan. Hasil tangkapan ikan yang mereka peroleh sebagian untuk diperjual belikan dan sebagian untuk makanan mereka sehari-hari.

Ikan hasil tangkapan tidak pernah mereka simpan karena berapa pun hasil tangakapan ikan yang mereka peroleh akan segera mungkin dihabiskan saat itu juga.
Rumah Suku Bajo penuh warna

Hari semakin sore tepat pukul 17.57 PM WITA kami pun dengan gerak cepat mencari spot untuk melihat sunset yang begitu indah. 

Ternyata ada satu rumah yang memiliki spot sunset yang begitu tepat dan tempat itu sering kali dipakai oleh para wartawan TV untuk mengambil gambar disana yaitu rumah dari keluarga Fachrul yang baru saja beberapa bulan lalu berulang tahun yang pertama.

Baca juga : Suasana Tempat Pelelangan Ikan di Desa Bumbulan


Rumah paling ujung samping kanan adalah Rumah Fachrul
Happy Birthday Fachrul
Rumah itu pun tertata dengan rapi dan sangaaatttt bersih, memang beberapa kali saya masuk ke rumah suku bajo keadaannya selalu rapi dan bersih. Lantai yang saya pijak pun tidak berdebu ataupun terasa kotor. 

Beberapa menit kami tunggu kedatangan sunset, sempat hopeless karena sebelumnya hujan begitu lebat sehingga kami pun tak yakin apakah akan ada sunset atau tidak. Ternyata pikiran kami salah, sunset pun begitu nyata terlihat indah, dengan gerak cepat kami mengabadikan sunset yang hanya beberapa menit saja.
Sunset Torosiaje
Setelah puas menyaksikan sunset di dapur orang, Kami bergegas untuk kembali ke penginapan yang terletak di ujung perkampungan. Penginapan itu dikenakan biaya Rp. 100.000/malam (Harga sewaktu-waktu berubah). 

Penginapan itu disediakan oleh pemerintah jikalau ada pengunjung yang berdatangan. Kamar disana yang tersedia hanya ada 6 kamar tidur dan 2 kamar mandi yang terletak diluar kamar tidur. 

Kalau pengunjung tidak kebagian penginapan tidak perlu khawatir karena pengunjung lainnya bisa menginap di rumah warga dengan harga yang dapat mereka tentukan sendiri.
Penginapan kami semalam


Setelahnya menyaksikan sunset, saya begitu menikmati dengan aksinya anak kecil saat mendayung. Terlihat sudah alat dayungnya lebih besar ketimbang tubuhnya. Mereka memang lebih sering menggunakan alat dayung ketimbang harus menyalakan mesin perahu. 

Selang waktu yang begitu cepat kami pun bergegas mencari makanan disana. Ada satu tempat makan yang berada tepat di dermaga yang selalu bertandang speed boat nya polisi disana. 


Makanan yang disajikan memang selalu ikan. Semua makanan yang disajikan habis ludes oleh kami yang telah menahan lapar sedari tadi.

Baca juga : Cara mengolah air nira menjadi gula semut 

Makan malam

Setelah makan, kami kedatangan sekdes kampung suku bajo yang bernama Pak Dedi Pakaya. Beliau bercerita tentang sejarah yang hilang dari kampung suku bajo. 

Konon katanya dahulu kala ada seorang putri dari tanah johor yang hilang sehingga raja memerintahkan kepada seluruh prajurit untuk mencari putri di seluruh lautan. Selama pencarian cuaca buruk pun menghalangi prajurit dalam pencarian sehingga diperintahkan oleh komando untuk singgah disana. 

Saat itu seluruh prajurit singgah di singapore. Kalau dikaitkan dengan bahasa bugis, singapore artinya adalah singgah disana. Namun kini singapore diartikan dengan singa oleh penduduk sekarang. 

Selama pencarian sang Putri masih juga belum ditemukan. Ternyata ada seorang pangeran dari suku Bugis yang menemukan Putri dari Johor ini. Selama ditemukan sang Putri membisu, tak bicara sepatah kata pun sehingga akhirnya Pangeran Bugis menikahi sang Putri. 


Akhirnya sang Putri melahirkan seorang anak. Sejak saat itulah Putri dapat berbicara dengan nyanyian yang selalu dia nyanyikan agar anaknya bisa tertidur. 

Nyanyian itu adalah nyanyian bajo. Menurut info yang diterima, nyanyian bajo yang tahu hanyalah ketua adat. Namun sayangnya kami tidak dapat bertemu dengan kepala adat karena beliau sedang tidak ada di tempat.


Malam semakin larut, cerita dari sekdes pun terasa semakin seru membuat kami merasakan seperti ada dalam ceritanya. Masih tentang kisah suku Bajo. 

Awal mula adanya Suku Bajo adalah Pada tahun 1901 yang hanya terdapat 4 rumah saja yang dikelilingi oleh hutan mangrove. 


Sampai akhirnya hingga saat ini, rumah di kampung suku bajo semakin bertambah. Pembangunan rumah di kampung suku bajo mengikuti air yang dangkal agar kondisi tiang tetap kokoh dan bertahan lama. 

Penduduk yang tinggal di kampung suku bajo tidak diperbolehkan dari luar. Kecuali penduduk luar itu menikahi salah satu warga kampung suku bajo, barulah mereka bisa membuat rumah di perkampungan suku bajo. 

Sama halnya ada seorang WNA dari Cina yang ingin tinggal di kampung suku bajo dan akhirnya bisa hidup di kampung suku bajo karena menikahi salah satu penduduk asli suku bajo.

Pada tahun 1976 ada seorang warga yang membuat panggung pengeringan ikan asin dengan kayu untuk pondasi tiang. 


Setelah beberapa kali ganti kayu, hanya ada satu kayu yang bertahan lama yaitu kayu Gopasa Batu. Kayu tersebut hidup di pegunungan yang berbatu namun tidak terlalu jauh dari pesisir laut. 

Pengambilan kayu tersebut membutuhkan waktu hingga 3 jam dari kampung suku bajo. Namun sayang, kini kayu Gopasa Batu sudah semakin langka karena terus dibabat untuk pembuatan pondasi tiang warga suku bajo.

Kami masih ingin mendengarkan kisah suku bajo dari pak sekdes namun mata tak bersahabat karena hari semakin larut dan gelap. Saatnya kami harus beristirahat agar tidak tertinggal sunrise yang begitu cantik di Torosiaje.


Baca juga : Rumah Peninggalan Tahun 1914 di Desa Bumbulan, Pohuwato 






05.20 AM WITA Warna orange menyembul ke permukaan, Awan cantik membentuk guratan indah bak lukisan, kampung suku bajo terlihat begitu kecil dari kejauhan. 

Pagi ini saya bersyukur telah menginjakkan kaki di Torosiaje dengan segala keramah-tamahan nya penduduk, Senyuman manis yang selalu tersungging di bibirnya dan salam hangat yang selalu saya dengar dari tiap perkataannya membuat saya semakin terlena dengan suasana seperti ini yang sangat jarang saya rasakan di kota besar. 

Yah inilah Torosiaje, Kampung Suku Bajo yang menghabiskan hidupnya di lautan nan elok dan cantik. Mereka adalah orang kaya menurut saya. Yah kaya...kaya akan keindahan alam yang tak perlu merogoh kocek terlalu dalam untuk menyaksikan kebesaran tuhan. 

Baca juga : Pulau Lahe, Pulaunya asik buat Leha-Leha


Warna air laut disini sangat lah bening, pasti kalian pun juga akan tergoda dengan kejernihan airnya. Bulu babi sudah berserakan dimana-mana bahkan bintang laut aneka ragam pun ada disini. 

Saya hanya bisa tersenyum melihat kejernihannya tanpa harus bisa turun dan renang disana. Karena di Kampung Suku Bajo belum ada saluran pembuangan jadi apa yang terjadi di atas perkampungan suku bajo, sudah dipastikan langsung dimakan ikan laut *if you know what i mean*. 

Sudah lah semua itu hanya jadi kenangan saja. yah kenangan, dimana saya sudah berkhayal akan renang dibawah peginapan macam di Maldives gitu deeehhhh.

Baca juga : Kecantikan Pulau Torosiaje Kecil



Mengurungkan niat untuk sekedar berendam saja disana membuat saya harus memutar otak mau ngapain lagi selama disana. tapi memang di kampung suku bajo ini paling cocok untuk bermalas-malasan karena cuacanya yang begitu hangat dan segar ditambah angin semilir yang membuat saya sempat merasa kantuk sesaat.

Waktunya sarapan, kami kedatangan tamu besar yaitu kepala desa yang bernama Jakson Sompat. gayanya bak seniman ulung dengan cara bicaranya yang begitu lantang namun tak membuat sisi kewibawaannya hilang begitu saja. Beliau menceritakan kembali kisah salah seorang warga suku bajo yang dapat hidup didalam laut.
Pak Jackson Sompat 

Sebelum melanjutkan ceritanya, dahulu kala panggilan untuk kepala desa yaitu Punggawa. Namun sekarang sudah berubah arti menjadi kepala desa. Pak Jackson Sompat ini adalah Punggawa yang ke 18. Punggawa sebelumnya menjabat selama satu tahun yang bernama Alm. Pak Sudiro Pakaya.

KISAH SENGKANG Si MANUSIA LAUT

Beragam keunikan yang terjadi disini, Salah satunya adalah Sengkang yang kehidupan sehari-harinya dilakukan dalam laut. Kebayang gak sih, kita aja paling lama bisa tahan nafas didalam air paling hanya beberapa menit saja. 

Namun Sengkang terbiasa kehidupannya berada didalam laut. Kisah Sengkang ini mencuri perhatian ribuan pengunjung saat adanya festival pesta rakyat yang dilakukan setahun sekali. 

Kedatangan pengunjung kesana hanya sekedar ingin tau Sengkang seperti apa. Sengkang hanya lah manusia biasa, memiliki panca indera yang sama seperti kita namun Sengkang tidak pernah menggunakan sehelai bahan pun di tubuhnya. Jadi saat acara berlangsung Sengkang berkeliaran tanpa busana. 

Penduduk menyambutnya dengan memberikan semua makanan yang mereka bawa. Sengkang tetap memakan apa yang kita makan juga. Kalau Sengkang kelaparan, terkadang beliau akan menyusup ke dapur warga yang terbuka. 

Namun yang di ambil hanyalah makanannya saja. Perlengkapan apapun tidak ada yang diambilnya. Kalaupun Sengkang ambil, itupun perlengkapan yang sudah rusak. Seperti contohnya piring yang berlubang, gelas yang retak atau sendok yang sudah tidak terpakai.

Sengkang hidup di dalam laut sejak umur 3 tahun, namun ada juga yang bilang dari umur 5 tahun. Simpang siur info yang kami dapatkan karena memang tidak ada kejelasan sejak kapannya Sengkang hidup di dalam laut. 


Kehidupan Sengkang ini pun mencuri perhatian pemerintah sehingga berencana membuat program yang berkerja sama dengan dinas sosial pemukiman yang berada di Torosiaje Jaya. Agar Sengkang pindah ke perumahan yang berada didarat. Sehingga Orang tua Sengkang pun ikut pindah ke pemukiman. 

Namun sayang, upaya itu pun tidak berhasil dilakukan pemerintah karena Sengkang tetap memilih hidup di lautan. Orang Tua Sengkang pun khawatir, maka dari itu mereka secara diam-diam kembali ke perkampungan suku bajo. 

Akhirnya karena kekhawatiran warga sekitar terhadap kehidupannya Sengkang. Mereka berinisiatif membuat sebuah gubuk dalam air yang terbuat dari beberapa lembar papan yang berbentuk segitiga agar Sengkang dapat hidup disana. Upaya itu pun tetap tidak berhasil juga. karena Sengkang suka hidup dengan kebebasan di dalam lautan. 

Sengkang pun sering kali menyusul kedua orang tuanya saat sedang mencari ikan di lautan lepas. Tau sendirikan di lautan lepas banyak hidup ikan predator, namun Sengkang selalu aman selama mengarungi lautan lepas. 


Penduduk sekitar meyakini bahwa ada mistis yang terjadi selama kehidupan Sengkang. Bahkan desa sebelah pun merasa terganggu dengan kehadiran Sengkang. Menurut informasi yang beredar bahwa Sengkang sudah meninggal karena pernah mereka tombak dan racuni. 

Namun setelah menghilang beberapa minggu kemudian, Sengkang muncul kembali. Maka dari itu, Sengkang disebut-sebut meninggal untuk kedua kalinya. Terakhir Sengkang mengakhiri hidupnya di tahun 2003 saat berumur 37 tahun. Kalau masih hidup hingga saat ini, Sengkang berumur 56 tahun.


Memang kisah Sengkang sangat menarik perhatian banyak orang karena ini bukan sejarah ataupun fiktif belaka. Semua kisah Sengkang adalah hal yang nyata. Memang di kampung suku bajo masih sangat mempercayai hal-hal yang berbau mistis.

Ada beberapa larangan yang harus diikuti oleh seluruh warga kampung suku bajo yaitu : 

  • Larangan melaut pada hari jumat. Pernah ada salah satu warga yang melanggar peraturan tersebut. Akhirnya nelayan itu mengalami kejadian yang sangat mengerikan di tengah laut. Kapal yang dibawanya tenggelam akibat cuaca buruk dan tergulung oleh ombak. Semua perlengkapan alat pancingnya pun ikut tenggelam. Beruntungnya nelayan itu kembali dengan selamat dan mengharuskan berenang dari tengah laut menuju ke tepian. 
  • Larangan menggunakan baju berwarna merah saat upacara adat atau acara besar lainnya. 
  • Larangan meludah sembarangan karena disana masih banyak hantu lautnya

Torosiaje, kampung suku bajo memiliki keunikan tersendiri yang akan membuat kalian semakin tertarik untuk membahasnya lebih dalam lagi. Walaupun tempatnya sangat jauh dari perkotaan. Namun saya sama sekali tidak menyesal untuk berkunjung kemari. Warga sekitar suku bajo selain santun juga sangatlah ramah. Setiap mereka berjalan di depan kami, sudah dipastikan akan setengah menunduk dengan posisi tangan di depan seraya mengucapkan permisi. 

Oiyah ada satu hal lagi yang membuat saya kesal adalah mata mereka cantik-cantik sekaliiii. Aaarrrggghhh kesyeeellll!!!! tau gak alisnya tebel-tebel jadi gak perlu deh tuh pake pensil alis. Udah gitu bulu matanya panjang dan lentik, gak perlu deh tuh bulu mata syahrini. Bola matanya besar, jadi gak perlu deh softlens biar matanya terlihat besar. Saya...Dian Juarsa...Sangat kesal melihatnya. oke cukup sekian dan terima kasih :D




#Pohuwatogoesdigital
Desa Torosiaje, Kampung Suku Bajo
Dian Juarsa, 10 May 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Yuk ah komen daripada cuma sebarin Spam

Copyright 2012 Dian Juarsa. Diberdayakan oleh Blogger.