Kamis, 09 Maret 2017

Mengelilingi Alun-Alun Kidul Solo dan Kompleks Sitihinggil


Setelah puas selama 3 jam mendengarkan cerita dari guide yang menjelaskan mengenai Keraton Kasunan Surakarta. Saya pun diajak keliling Alun-Alun yang menyerupai alun-alun Yogyakarta. Tapi tetap saja, Kalau beda tempat pastinya beda mitos juga. Maka dari itu, Sembari berkeliling saya pun menguak cerita tersebut dari Andy yang menemani saya keliling kota Solo.

Pura Mandira Seta Solo
Tepat didepan pintu keluar Museum Keraton Kasunan Surakarta terdapat Pura Persembahyangan Mandira Seta. 

Sempat saya ingin masuk ke Pura tersebut. Akan tetapi ada salah satu pengunjung yang mengatakan kalau pengunjung luar dilarang masuk kedalam Pura Persembahyangan Mandira Seta. Dengar omongan tersebut, Saya pun langsung mengurungkan niat untuk memasuki Pura

Menurut hasil pencarian saya via google bahwa Keberadaan Pura Mandira Seta berdasarkan kekancing dari Keraton Surakarta Hadiningrat, tanah dan bangunannya merupakan harta keraton yang hak gunanya dimiliki ahli waris R. Ng. Prajapangarsa. Pada dasarnya ahli waris tidak keberatan tanah dan bangunan digunakan sebagai tempat ibadah umat Hindu.



Keluar dari Keraton banyak sekali becak yang berkeliaran dengan maksud mempermudah para pejalan kaki untuk menggunakan becak agar tidak terlalu capek mengelilingi Keraton. Memang pada dasarnya Keraton sangat luas sekali. Beberapa Keraton yang bisa kita kunjungi saja itu tidak seberapa, belum lagi keraton yang tidak diperbolehkan untuk wisatawan. Kebayang dong luasnya bagaimana?

Image Credit Syiwahoney

Saat saya memasuki kawasan Alun-Alun kidul Solo, Saya melihat dua pohon beringin. Dua buah beringin kembar terletak di tengah alun-alun utara yang dikenal sebagai Waringin Kurung Sakembaran. 

Kenapa disebut Kurung? Karena kedua beringin ini diberi batas berupa jeruji besi yang berwarna biru. Lagi-lagi biru, karena memang wilayah di Keraton mayoritas berwarna biru. 

Kedua beringin ini dibawa dari keraton lama pada saat perpindahan keraton dari Kartosura ke Surakarta. 

Waringin Kurung Sakembaran memiliki arti simbolistis yaitu manusia harus bisa menghilangkan hawa nafsu pribadinya sehingga dapat mencapai tingkat jaya (Kemenangan dalam mencapai hidup sejati). 

Hal ini diyakini karena bagi manusia yang telah mencapai tingkat kesempurnaan tersebut maka akan selalu disinari oleh sinar Ilahi. 

Waringin Kurung Sakembaran memiliki mitos Jawa dalam kehidupan masyarakat Surakarta yaitu apabila seseorang mendapatkan daun waringin kurung sakembaran dua buah jatuh ketanah dalam keadaan satu daun menghadap ke atas dan satu daunnya lagi menghadap kebawah. 

Maka daun tersebut bisa dijadikan pusaka atau jimat yang membawa berkah selamat dan apabila seseorang melakukan tirakat atau meditasi dibawah pohon beringin atau berjalan mengelilingi sebanyak 7 kali maka apa yang menjadi kehendaknya akan terkabulkan. Nah kalo mitos ini kembali lagi ke kepercayaan masing-masing.

Kebo Kyai Slamet


Kerbau bule atau Kerbau putih

Mendengar katanya saja sudah tertarik untuk mendengarkan kisahnya tentang si kebo bule ini. Konon Kebo bule ini milik Klangenan Raja yang setiap malam 1 suro selalu dikirab keliling benteng keraton bersama abdi dalem keraton kasunan. 

Tradisi unik yang selalu berlangsung setiap malam 1 suro ini selalu mengundang para wisatawan untuk mengikuti acara kirab budaya berupa kirab kebo bule kyai slamet berlangsung. 

Dalam penanggalan Jawa, bulan muharram dikenal dengan bulan suro sehingga Kirab kebo lebih dikenal dengan Kirab Malam 1 Suro. Kebo bule yang berada di Kasunan Surakarta merupakan hewan yang dikeramatkan pihak Keraton. Karena Kebo Bule ini bertugas menjaga pusaka kerajaan Kasunan Surakarta. 

Kebo bule merupakan jenis kebo albino sehingga penampakannya berbeda dengan kebo lainnya. Kebo Albino cenderung berwarna putih. Menurut pihak Keraton Kasunan, Kebo bule Kyai Slamet sudah meninggal (Karena hewan kramat jadi sebutannya meninggal yah bukan mati) beberapa tahun lalu. Namun kebo bule yang sekarang ini adalah keturunan dari Kebo Kyai Slamet.

KA Pesiar Gerbong Pembawa Jenazan Paku Buwono X

Saat mengelilingi Alun-Alun Solo saya sempat berhenti sejenak dibangunan yang dalamnya terdapat bangkai Kereta Api. Ternyata lokasi tersebut adalah salah satu peninggalan sejarah yakni keberadaan gerbong kereta jenazah yang pernah digunakan untuk mengangkut Paku Buwono X yang beroperasional di tahun 1990, tahun itu umur saya masih 2 tahun. 

Kini gerbong tersebut menjadi iconic Alun-Alun Kidul Solo yang berada di kawasan Sitihinggil. KA Pesiar memiliki ciri khas yaitu KA Pesiar ini hanya mampu ditarik dengan lokomotif uap dan kerennya lagi didalam kereta ini juga sudah ada pendinginnya. Namun dulu pendingin ruangannya masih menggunakan es balok.


Di kawasan Museum Keraton Kasunan Surakarta terdapat beberapa pohon yang begitu kekar dengan akar yang sangat kokoh. Konon pohon yang berada dikawasan Keraton ini memiliki kekuatan masing-masing. Dulu entah tepatnya tahun berapa ada beberapa pohon yang tumbang di kawasan ini karena angin yang begitu kencang, Langsunglah ada acara yang entah namanya apa, tapi yang pasti ada sesajen gitu. 

Pintu Bangsal Balebang tempat penyimpanan Gamelan

Memasuki kompleks-an Sitihinggil yang artinya Siti itu tanah dan Hinggil itu tinggi. Jadi kalau digabungkan kompleks ini dibangun diatas tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya. 

Bangunan utama Sitihinggil adalah Sasana Sewayanayang digunakan para pembesar saat menghadiri upacara kerajaan. Bangunan lainnya adalah Bangsal Manguntur Tangkil, Tempat tahta susuhunan dan Bangsal Witono. 

Krobongan Bale Mangunen (Image Credit -  Catatansilid)
Dibagian tengahnya terdapat pendopo yang bernama Krobongan Bale manguneng. Ditempat inilah pusaka Keraton Kangjeng Nyai Setomi bersemayam. Pusaka ini berupa meriam yang dirampas oleh prajurit Mataram dari VOC saat menyerbu Batavia atas perintah Sultan Agung. 

Sebenarnya untuk memasuki wilayah Sitihinggil ini tidak bisa seenaknya. Tapi saat saya dan Andhy kesini, tidak ada penjaganya sama sekali. Bahkan di ruangan paling ujung tempat ini digunakan untuk Pasar Klewer sementara waktu. Sempat memasuki Pasar tersebut namun saya memang sedang tidak tertarik untuk belanja.  



Marijemkijahi Swoehbrastho

Banyak sekali meriam buatan Belanda yang dihiasi ukiran-ukiran di Sitihinggil. Ada beberapa yang bertuliskan dilarang naik. Untungnya sih emang gak ada niatan untuk naik meriam. Cukup foto disamping meriam saja udah seneng kok. 

Bahkan umurnya saja sudah melebihi umur saya. Berbagai macam bentuk meriam yang terpampang, saya pun tidak tau apa bedanya dan mengapa harus berbeda ujungnya. Kebetulan saat di Sitihinggil saya tidak menemukan guide yang bisa menceritakan sejarah dari meriam ini.

Setelah puas berkeliling Sitihinggil, Sayapun melanjutkan perjalanan ketempat lainnya. Karena Solo ini terdapat banyak sekali tempat wisata yang harus dikunjungi. Namun saat saya keluar dari Keraton, Saya melihat ada sebuah masjid yang sangat unik didekat Keraton Surakarta.

Masjid Gede keraton Surakarta

Masjid yang dibangun pada masa pemerintahan Pakubuwono III disebut sebagai Masjid Agung Keraton Surakarta. Masjid ini dapat dijumpai berbagai bangunan hasil akulturasi kebudayaan jawa dan Islam seperti gapura utama masjid yang berbentuk pendopo, gamelan keraton serta jam matahari.

Memang di Keraton ini tidak hanya ada masjid saja melainkan ada Pura juga. Toleransi agama di Solo sangat kental dan saling menghargai satu sama lain. Setelah puas berkeliling Keraton, saya akan keliling Kota Solo yang banyak lampionnya :D 

2 komentar:

  1. Kalau keraton Solo kusennya warna biru ya, Jogja hijau.
    Itu foto yang di pintu bagus deh... instagramable banget

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bangeeettttt...Keren yaaa pintunya. Rasanya pengen deh rumah gw macem gini tapi kok keliatannya kaya jeruji hahahahaha...

      Hapus

Yuk ah komen daripada cuma sebarin Spam

Copyright 2012 Dian Juarsa. Diberdayakan oleh Blogger.